Selasa, 08 Mei 2018

Penyelesaian Sengketa Ekonomi



Pengertian

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia sengketa berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan pleh pihak lain.  Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan sengketa.

Adapun defenisi sengketa menurut beberapa ahli diantaranya adalah :
1.       Menurut Winardi
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
2.       Menurut Ali Achmad
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Dari kedua pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang mana nantinya dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Sengketa Dalam Kegiatan Ekonomi
Secara rinci sengketa dalam ranah ekonomi dapat berupa sengketa sebagai berikut :
1.       Sengketa perniagaan
2.       Sengketa pekerjaan
3.       Sengketa perbankan
4.       Sengketa perburuhan
5.       Sengketa Keuangan
6.       Sengketa perusahaan
7.       Sengketa Penanaman Modal
8.       Sengketa hak
9.       Sengketa Perindustrian
10.   Sengketa property
11.   Sengketa HKI
12.   Sengketa Kontrak
13.   Sengketa Konsumen
Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Perlu dipahami bahwa Penyelesaian sengketa ekonomi bertujuan untuk menghentikan pertikaian dan menghindari kekerasan dan akibat-akibat yang mungkin akan terjadi akibat dari persengketaan tersebut.      
Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:

1.       Negosiasi/Perundingan

Negosiasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.

Adapun Keuntungan Negoisasi :

1.       Mengetahui pandanga pihak lawan.
2.       Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar pihak lawan
3.       Memungkinkan sengketa secara bersama-sama.
4.       Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
5.       Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum.
6.       Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu.

Adapun Kelemahan Negoisasi :

1.       Mengetahui pandanga pihak lawan.
2.       Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.
3.       Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil kesepakatan
4.       Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang.
5.       Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan.
6.       Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak.
7.       Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.

Pola Perilaku dalam Negosiasi
1.       Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
2.       Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
3.       Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
4.       Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.

Tahapan Negoisasi menurut William Ury dibagi menjadi Empat Tahap yaitu :
1.       Tahapan Persiapan :
a)      Persiapan sebagai kunci keberhasialan
b)      Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan dan lakukan penelitian
c)       Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda
d)      Sebaiknya persiapkan pertanyaan – pertanyaan sebelum pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak lawan.
e)      Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan.
f)       Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut menjadi masalah bersama?
g)      Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi dan Menyiapkan tim dan strategi.
h)      Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted Agreement) alternative lain atau harga dasar (Bottom Line).

2.       Tahap Orientasi dan Mengatur Posisi :
a)      Bertukar Informasi
b)      Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan
c)       Mengajuakan tawaran awal.

3.       Tahap Pemberian Konsensi/ Tawar Menawar
a)      Para pihak saling menyampaikan tawaranya, menjelaskan alasanya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya.
b)      Dapat menawarkan konsensi, tapi pastikan kita memperoleh sesuatu sebagai imbalanya
c)       Mencoba memahai pemikiran pihak lawan
d)      Mengidentifikasi kebutuhan bersama
e)      Mengembangkan dan mendiskusiakan opsi-opsi penyelesaian.

4.       Tahapan Penutup
a)      Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria obyektif.
b)      Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi opsi lain yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, membatalkan komitmen.


2.       Enquiry (penyelidikan)

Enquiry (penyelidikan) adalah merupakan kegiatan untuk mencari fakta yang dilakukan oleh pihak ketiga.

3.        Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak. Dan Merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa yang melibatkan pihak   ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.  Pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan mediator.
Mediasi mengandung unsur-unsur :
1.       Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
2.       Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
3.       Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
4.       Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

Tugas Mediator antara lain :
1.       Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
2.       Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (penyesuaian persepsi) sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama.

Berikut ini adalah prosedur mediasi :
1.       Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2.       Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
3.       Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
4.       Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan. Jika terdapat perdamaian, penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis.

4.Konsiliasi

Konsiliasi adalah Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut. Dalam pengertian lain Konsolidasi (conciliation), dapat pula diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut
mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1.       pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2.       setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.

Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim. Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.

5.       Arbitrase

salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan. Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan” Subekti : merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati                           keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih.
UU arbitrase nasional : UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.  Berdasarkan UU tersebut, Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum, yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Azas- Azas Arbitrase :
1.       Azas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
2.       Azas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
3.       Azas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
4.       Azas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.

Penjanjian arbitrase tidak batal meskipun :
1.       Meninggalnya salah satu pihak.
2.       Bangkrutnya salah satu pihak.
3.       Novasi (Pembaharuan utang)
4.       Insolvensi (keadaan tidak mampu membayar)salah satu pihak.
5.       Pewarisan.
6.       Berlakunya syarat-syarat hapusnya peikatan pokok.
7.       Bilamana pelaksanaan perjanjian dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase.
8.       Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Jenis Arbitrase :

1.       Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter : merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu.
2.       Arbitrase institusional : merupakan suatu lembaga yang bersifat permanen sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya, meskipun perselisihan telah selesai.

Di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase, yaitu :

1.       Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
2.       Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).

Tujuan Arbitrase Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.

6.       Pengadilan Umum

Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai karakteristik :
1.       Prosesnya sangat formal
2.       Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3.       Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4.       Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
5.       Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
6.       Persidangan bersifat terbuka
7.       Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI.
Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1.       Prosesnya sangat formal
2.       Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3.       Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4.       Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding)
5.       Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)
6.       Proses persidangan bersifat terbuka
7.       Waktu singkat.

Akan tetapi jika melakukan penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan, maka akan menimbulkan beberapa dampak, diantaranya :
1.       Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2.       Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.

Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan,
1.       lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2.       biaya tinggi (very expensive),
3.       secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4.       kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.

CONTOH KASUS

Kasus Pertamina vs Karaha Bodas Company

A.                  Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997 tertanggal 20 September 1997.

Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan. KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC, kurang lebih sebesar US$ 261,000,000.

Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court.

Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana asset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia. Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC mengajukan permohonan pada US District Court for the Southern District of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC mengajukan permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan Hongkong. Dalam menyikapi upaya hukum KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa penolakan pelaksanaan di pengadilan yang diminta oleh KBC untuk melakukan eksekusi.

Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di pengadilan Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Gugatan pembatalan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 70 UU no. 30 tahun 1999 tentang syarat-syarat pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang berbunyi : Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.

B. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002 , pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional, UNCITRAL, di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti yang telah diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter yang telah dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri.

Majelis arbitrase telah salah menafsirkan force majeure, sehingga mestinya Pertamina tidak dapat dimintakan pertanggungjawab atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Di samping itu, Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya karena tidak menggunakan hukum Indonesia, pada hal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak, Majelis arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono.

C. Analisis Kasus Pertamina vs Karaha Bodas Company

Dalam kasus ini, alasan tidak dapatnya Pertamina memenuhi kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah Negara Indonesia yang berdaulat melalui Keppres nomor 39 tahun 1997 tanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah. Jelas-jelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah tersebut terkait dengan upaya mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden. Jelaslah di sini, bahwa penafsiran, perluasan dan pemaknaan pengertian kepentingan umum dan causa yang halal sangat situasional dan kontekstual.

Di sisi lain, apabila hukum nasional tertentu dikesampingkan, dan sebaliknya mengadopsi bagian tertentu dari hukum internasional untuk kepentingan sesaat dan kontekstual, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyelundupan hukum. Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang hukum kontrak Internasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di Indonesia mengenai pembatalan kasus tersebut tidak komprehensif dari sisi legal.


Sumber :